Fraktur Hidung
Fraktur Hidung
1. Definisi
- Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai
stress yang lebih besar daripada yang diabsorpsinya.
- Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan
rendah. Sedangkan jika disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi biasanya
berhubungan dengan fraktur wajah. Selain itu, injury nasal juga
berhubungan dengan cedera leher atau kepala.
- Fraktur nasal adalah terjadinya diskontinuitas jaringan
tulang (patah tulang) yang biasanya disebabkan benturan keras.
- Fraktur tulang hidung dapat mengakibatkan terhalangnya
jalan pernafasan dan deformitas pada hidung. Jenis dan kerusakan yang
timbul tergantung pada kekuatan, arah dan mekanismenya. Terdapat beberapa
jenis fraktur hidung antara lain (Robinstein,2000).
2. Anatomi dan Fisiologi Hidung
Hidung merupakan organ penting yang
seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah
satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung
terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis
tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan
atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan,
dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang
paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan (Ballenger,1994;
Hilger, 1997; Mangunkusomo,2001; Levine,2005) Bagian puncak hidung biasanya
disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung
(dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi.
Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian
tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik
pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini
bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang
disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril
(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi
dan sebelah inferior oleh dasar hidung(Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997) .
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Maran,1990; Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997) Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise (Maran,1990; Ballenger,1994;Mangunkusumo,2001)
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus (Ballenger, 1994).
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Maran,1990; Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997) Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise (Maran,1990; Ballenger,1994;Mangunkusumo,2001)
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus (Ballenger, 1994).
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).
Perdarahan hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis(Ballenger, 1994; Hilger, 1997).
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (little¡¦s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (Ballenger,1994; Hilger,1997).
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus (Maran,1990; Ballenger, 1994; Mangunkusumo, 2001).
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis(Ballenger, 1994; Hilger, 1997).
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (little¡¦s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (Ballenger,1994; Hilger,1997).
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus (Maran,1990; Ballenger, 1994; Mangunkusumo, 2001).
Persyarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung
mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan
cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf
sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang
maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus
oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi
menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus
infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa
bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui
foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis
internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum
(Maran,1990; Ballenger, 1994; Hilger, 1997). Ganglion sfenopalatina, selain
memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus
maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha
media (Maran,1990; Ballenger, 1994; Mangunkusumo, 2001).
Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (Maran,1990; Ballenger, 1994; Hilger, 1997, Mangunkusumo, 2001).
„« Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan.
Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS (Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997 ;McCaffrey,2000).
Menurut Mangunkusumo (2001) fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses bicara,(7) Reflek nasal (Ballenger,1994; Mangunkusomo,2001).
Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (Maran,1990; Ballenger, 1994; Hilger, 1997, Mangunkusumo, 2001).
„« Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan.
Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS (Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997 ;McCaffrey,2000).
Menurut Mangunkusumo (2001) fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses bicara,(7) Reflek nasal (Ballenger,1994; Mangunkusomo,2001).
3. Etiologi
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
- Mendapat serangan misal dipukul.
- injury karena olah raga
- kecelakaan (personal accident).
- kecelakaan lalu lintas.
Dari 4 causa diatas, yang paling
sering karena mendapat serangan misalnya dipukul dan kebanyakan pada remaja.
Jenis olah raga yang dapat menyebabkan injury nasal misalnya sepak bola,
khususnya ketika dua pemain berebut bola diatas kepala; olah raga yang
menggunakan raket misalnya ketika squash, raket dapat mengayun ke belakang atau
depan dan dapat memukul hidung atau karate; petinju.
Trauma nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi menyebabkan fraktur wajah.
Terdapat beberapa jenis fraktur nasal antara lain (Robinstein,2000) :
Trauma nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi menyebabkan fraktur wajah.
Terdapat beberapa jenis fraktur nasal antara lain (Robinstein,2000) :
- Fraktur lateral adalah kasus yang paling sering
terjadi, dimana hanya terjadi pada salah satu sisi saja, kerusakan yang
ditimbulkan tidak begitu parah.
- Fraktur bilateral merupakan salah satu jenis fraktur
yang juga paling sering terjadi selain fraktur lateral, biasanya disertai
dislokasi septum nasal atau terputusnya tulang nasal dengan tulang
maksilaris.
- Fraktur direct frontal yaitu fraktur os nasal dan os
frontal sehingga menyebabkan desakan dan pelebaran pada dorsum nasalis.
Pada fraktur jenis ini pasien akan terganggu suaranya.
- Fraktur comminuted adalah fraktur kompleks yang terdiri
dari beberapa fragmen. Fraktur ini akan menimbulkan deformitas dari hidung
yang tampak jelas.
4. PATOFISIOLOGI
Tulang hidung dan kartilago rentan
untuk mengalami fraktur karena hidung letaknya menonjol dan merupakan bagian
sentral dari wajah, sehingga kurang kuat menghadapi tekanan dari luar. Pola
fraktur yang diketahui beragam tergantung pada kuatnya objek yang menghantam
dan kerasnya tulang. Daerah terlemah dari hidung adalah kerangka kartilago dan
pertemuan antara kartilago lateral bagian atas dengan tulang dan kartilago
septum pada krista maksilaris.
Daerah terlemah merupakan tempat yang tersering mengalami fraktur atau dislokasi pada fraktur nasal. Kekuatan yang besar dari berbagai arah akan menyebabkan tulang hidung remuk yang ditandai dengan deformitas bentuk C pada septum nasal. Deformitas bentuk C biasanya dimulai di bagian bawah dorsum nasal dan meluas ke posterior dan inferior sekitar lamina perpendikularis os ethmoid dan berakhir di lengkung anterior pada kartilago septum kira-kira 1 cm di atas krista maksilaris.
Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur frontalis, ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur dinding orbita; fraktur lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur maksila Le Fort I, II, dan III.5 Jenis fraktur nasal adalah (1) fraktur nasal sederhana. (2) fraktur pada prosessus frontalis maksila. (3) fraktur nasal dengan pergeseran kartilago nasi (4) fraktur dengan keluarnya kartilago septum dari sulkusnya di vomer. (5) fraktur kominunitiva pada vomer dan (6) fraktur pada tulang ethmoid sehingga CSS mengalir dari hidung.
Daerah terlemah merupakan tempat yang tersering mengalami fraktur atau dislokasi pada fraktur nasal. Kekuatan yang besar dari berbagai arah akan menyebabkan tulang hidung remuk yang ditandai dengan deformitas bentuk C pada septum nasal. Deformitas bentuk C biasanya dimulai di bagian bawah dorsum nasal dan meluas ke posterior dan inferior sekitar lamina perpendikularis os ethmoid dan berakhir di lengkung anterior pada kartilago septum kira-kira 1 cm di atas krista maksilaris.
Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur frontalis, ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur dinding orbita; fraktur lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur maksila Le Fort I, II, dan III.5 Jenis fraktur nasal adalah (1) fraktur nasal sederhana. (2) fraktur pada prosessus frontalis maksila. (3) fraktur nasal dengan pergeseran kartilago nasi (4) fraktur dengan keluarnya kartilago septum dari sulkusnya di vomer. (5) fraktur kominunitiva pada vomer dan (6) fraktur pada tulang ethmoid sehingga CSS mengalir dari hidung.
5. Tanda dan gejala
- Bentuk hidung berubah
- Epiktasis/keluar darah dari hidung
- Krepitasi yaitu teraba tulang yang pecah
- Hidung serta daerah sekitarnya bengkak
6. Komplikasi
- Deviasi hidung (Keadaan dimana terjadi peralihan pada
septum nasal, tulang nasal atau keduanya).
- Bleeding (perdarahan hidung)
- Hematoma septi ( penggumpalan darah dibagian septum).
- Septum hematom ditandai dengan adanya akumulasi darah
pada ruang subperikondrial. Ruangan ini akan menekan kartilago di bawahnya,
dan mengakibatkan nekrosis septum irreversible. Deformitas bentuk pelana
dapat berkembang dari jaringan lunak yang hilang.
7. Pemeriksaan Diagnostik
- Foto nasal
- Radiografi nasal
- Pemeriksaan hidung bagian dalam
- Sinar X untuk menilai ductus nasolakrimalis
8. Penatalaksanaan
- Operatif Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan
perpindahan fragmen tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan
sembuh dengan spontan. Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan
membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi
hidung.
- Tindakan yang dilakukan pada deviasi septum biasanya
dengan septoplasty. Selain itu seiring dengan perkembangan bedah plastic
untuk komestika, maka dapat dilakukan rhinoplasty.
- Rhinoplasty adalah operasi plastic pada hidung. Ada 2
macam :
- Augmentasi rhinoplasty : penambahan pada hidung. Yang
harus diperhatikan tidak boleh menambahkan injeksi silicon. Yang boleh
digunakan adalah bahan dari luar, misalnya silicon padat maupun bahan dari
dalam tubuh sendiri misal tulang rawan, flap kulit/dermatograft.
- Reduksi rhinoplasty : pengurangan pada hidung.
- Tempat terjadinya bleeding seharusnya diidentifikasi
dan jika dari sphenopalatine maka eksplorasi septal dikeluarkan dan ketika
arteri dibebaskan dari segmen fraktur biasanya dihentikan dengan packing
(balutan). Jika arteri ethmoidal masih terjadi bleeding setelah fraktur
ethmoidal maka dilakukan ¡¥clip¡¦ dengan ethmoid eksternal yang sesuai.
- Drainase segera setelah ditemukan disertai dengan
pemberian antibiotik setelah drainase
B. KEPERAWATAN
1. Pengkajian
„h Kaji tanda tanda vital
„h Kaji pola nafas
„h Kaji adanya nyeri
„h Kaji warna kulit dan adanya sianosis
2. Diagnosa
„h Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka pada hidung
„h Pola nafas tidak efektif b.d deformitas tulang
„h Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi
3. Intervensi
„h Nyeri akut
- Kaji skala nyeri 0-10.
R/ untuk mengetahui skala nyeri dan kebutuhan pemberian analgetik.
- Observasi tanda-tanda vital.
R/ hipertensi akibat respon dari nyeri dan hipotensi maupun takikardi akibat dari kehilangan darah.
- Pertahankan immobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring dan pemasangan spalk/ bidai.
R/ untuk meminimalkan nyeri dan mengurangi cidera.
- Anjurkan klien rileks dan menarik nafas panjang bila nyeri datang. R /mengalihkan rasa nyeri dan mengurangi ketegangan.
- Lakukan kompres dingin selama 24-48 jam pertama. R/ untuk mengurangi edema.
- Observasi kualitas nadi perifer antar yang sakit dan yang sehat. R/ untuk mengetahui adanya cedera vascular.
- Kaji aliran kapiler, warna kulit, sianosis dan kehangatan distal. R/ mengetahui gangguan arteri dan vena.
14
„h Pola nafas tidak efektif
- Kaji pernafasan klien
- Anjurkan untuk pengurangan aktivitas
- Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian obat dan tindakan medis yang akan dilakukan
„h Kurang pengetahuan
- Kaji tingkat pengetahuan klien tingkat pengetahuan klien akan kondisi kesehatannya.
- Pemberian informasi yang belum diketahui oleh klien.
- Berikan informasi mengenai aktivitas yang boleh dilakukan selama sakit.
4. Evaluasi
- Verbalisasi nyeri berkurang.
- Klien rileks dan dapat tidur/ istirahat.
- Mendemonstrasikan tehnik rileksasi.
- Aliran darah perifer baik dan kulit hangat.
- Menunjukan tehnik untuk memungkinkan melakukan aktifitas.
15
C. JURNAL
Resolusi tinggi untuk fraktur hidung Sonografi pada Anak
Abstrak
TUJUAN. Kami menjelaskan temuan sonografi patah tulang hidung pada anak-anak, dan kami mengevaluasi nilai diagnostik sonografi dibandingkan dengan radiografi konvensional dan temuan klinis untuk menentukan apakah sonografi dapat menjadi teknik utama untuk mengevaluasi fraktur hidung pada anak-anak..
BAHAN DAN METODE radiografi konvensional dan. Sonografi scan diperoleh dalam 26 anak berturut-turut dengan trauma hidung yang terlihat di rumah sakit kami dari Maret 2003 sampai Maret 2005. Ada lima anak perempuan dan 21 laki-laki, dan usia mereka berkisar dari 1 tahun 9 bulan sampai 15 tahun 11 bulan (usia rata-rata, 9,9 tahun). Scan sonografi berikut (HDI-5000 unit dengan transducer array yang 7-15 MHz linier) digunakan untuk mengevaluasi tulang hidung pada tingkat yang berbeda: gambar memanjang garis tengah; scan aksial dari tulang hidung di, atas, tengah, dan bawah tingkat; gambar septum hidung, dan scan transversal dan longitudinal dari kedua dinding lateral. Sepuluh anak-anak juga menjalani CT.
HASIL. Radiografi konvensional digambarkan 14 (54%) dari 26 patah tulang. Scan sonografi mampu menunjukkan semua garis fraktur. Satu kasus didiagnosis sebagai patah tulang hidung tua di dasar pemeriksaan fisik, meskipun terlihat garis fraktur terlihat di sonografi. Temuan sonografi fraktur nasal adalah gangguan kontinuitas tulang dengan atau tanpa pemisahan segmen retak (7 / 26), perpindahan dari segmen tulang sebagai depresi atau override (20/26), deviasi septum terkait (7 / 26) , dan pemisahan aperture pyriform dari rahang dan tulang hidung (2 / 26). Temuan yang terkait adalah jaringan lunak edema dan hematoma hypoechoic dekat garis fraktur dalam 25 kasus. Fraktur melibatkan kedua sisi tulang hidung di 11 dari 26 kasus, bagian garis tengah tulang di enam dari 26 kasus, dan paramedian unilateral atau bagian lateral dari tulang di 12 dari 26 kasus. Di antara 10 CT scan, CT scan salah satu tidak menggambarkan fraktur, hanya menampilkan pembengkakan jaringan lunak, dan satu scan menunjukkan fraktur lantai orbital dan rahang.
16
KESIMPULAN. Sonografi bisa menjadi teknik diagnostik utama untuk mengevaluasi fraktur hidung pada anak-anak. Ini menimbulkan tidak ada radiasi, menyediakan berbagai pencitraan pesawat tanpa perubahan posisi, dan dapat digunakan untuk mengevaluasi septum kartilaginosa. Potensi perangkap jahitan nasofrontal, persimpangan antara tulang hidung dan aperture pyriform dari rahang, alur pembuluh darah, dan adanya fraktur tua. CT dapat digunakan selain untuk sonografi dalam kasus-kasus trauma tulang wajah dicurigai kompleks.
17
Daftar Pustaka
„h http://ilmubedah.info/definisi-anatomi-diagnosis-penatalaksanaan-fraktur-nasal-makalah-20110203.html
„h http://medicastore.com
„h www.scribd.com
„h pustaka.unpad.ac.id
„h ilmukeperawatan.net/index.php/artikel/7-saraf/8-head-injury.htm
„h http://www.healthresources.caremark.com/.
1. Pengkajian
„h Kaji tanda tanda vital
„h Kaji pola nafas
„h Kaji adanya nyeri
„h Kaji warna kulit dan adanya sianosis
2. Diagnosa
„h Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka pada hidung
„h Pola nafas tidak efektif b.d deformitas tulang
„h Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi
3. Intervensi
„h Nyeri akut
- Kaji skala nyeri 0-10.
R/ untuk mengetahui skala nyeri dan kebutuhan pemberian analgetik.
- Observasi tanda-tanda vital.
R/ hipertensi akibat respon dari nyeri dan hipotensi maupun takikardi akibat dari kehilangan darah.
- Pertahankan immobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring dan pemasangan spalk/ bidai.
R/ untuk meminimalkan nyeri dan mengurangi cidera.
- Anjurkan klien rileks dan menarik nafas panjang bila nyeri datang. R /mengalihkan rasa nyeri dan mengurangi ketegangan.
- Lakukan kompres dingin selama 24-48 jam pertama. R/ untuk mengurangi edema.
- Observasi kualitas nadi perifer antar yang sakit dan yang sehat. R/ untuk mengetahui adanya cedera vascular.
- Kaji aliran kapiler, warna kulit, sianosis dan kehangatan distal. R/ mengetahui gangguan arteri dan vena.
14
„h Pola nafas tidak efektif
- Kaji pernafasan klien
- Anjurkan untuk pengurangan aktivitas
- Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian obat dan tindakan medis yang akan dilakukan
„h Kurang pengetahuan
- Kaji tingkat pengetahuan klien tingkat pengetahuan klien akan kondisi kesehatannya.
- Pemberian informasi yang belum diketahui oleh klien.
- Berikan informasi mengenai aktivitas yang boleh dilakukan selama sakit.
4. Evaluasi
- Verbalisasi nyeri berkurang.
- Klien rileks dan dapat tidur/ istirahat.
- Mendemonstrasikan tehnik rileksasi.
- Aliran darah perifer baik dan kulit hangat.
- Menunjukan tehnik untuk memungkinkan melakukan aktifitas.
15
C. JURNAL
Resolusi tinggi untuk fraktur hidung Sonografi pada Anak
Abstrak
TUJUAN. Kami menjelaskan temuan sonografi patah tulang hidung pada anak-anak, dan kami mengevaluasi nilai diagnostik sonografi dibandingkan dengan radiografi konvensional dan temuan klinis untuk menentukan apakah sonografi dapat menjadi teknik utama untuk mengevaluasi fraktur hidung pada anak-anak..
BAHAN DAN METODE radiografi konvensional dan. Sonografi scan diperoleh dalam 26 anak berturut-turut dengan trauma hidung yang terlihat di rumah sakit kami dari Maret 2003 sampai Maret 2005. Ada lima anak perempuan dan 21 laki-laki, dan usia mereka berkisar dari 1 tahun 9 bulan sampai 15 tahun 11 bulan (usia rata-rata, 9,9 tahun). Scan sonografi berikut (HDI-5000 unit dengan transducer array yang 7-15 MHz linier) digunakan untuk mengevaluasi tulang hidung pada tingkat yang berbeda: gambar memanjang garis tengah; scan aksial dari tulang hidung di, atas, tengah, dan bawah tingkat; gambar septum hidung, dan scan transversal dan longitudinal dari kedua dinding lateral. Sepuluh anak-anak juga menjalani CT.
HASIL. Radiografi konvensional digambarkan 14 (54%) dari 26 patah tulang. Scan sonografi mampu menunjukkan semua garis fraktur. Satu kasus didiagnosis sebagai patah tulang hidung tua di dasar pemeriksaan fisik, meskipun terlihat garis fraktur terlihat di sonografi. Temuan sonografi fraktur nasal adalah gangguan kontinuitas tulang dengan atau tanpa pemisahan segmen retak (7 / 26), perpindahan dari segmen tulang sebagai depresi atau override (20/26), deviasi septum terkait (7 / 26) , dan pemisahan aperture pyriform dari rahang dan tulang hidung (2 / 26). Temuan yang terkait adalah jaringan lunak edema dan hematoma hypoechoic dekat garis fraktur dalam 25 kasus. Fraktur melibatkan kedua sisi tulang hidung di 11 dari 26 kasus, bagian garis tengah tulang di enam dari 26 kasus, dan paramedian unilateral atau bagian lateral dari tulang di 12 dari 26 kasus. Di antara 10 CT scan, CT scan salah satu tidak menggambarkan fraktur, hanya menampilkan pembengkakan jaringan lunak, dan satu scan menunjukkan fraktur lantai orbital dan rahang.
16
KESIMPULAN. Sonografi bisa menjadi teknik diagnostik utama untuk mengevaluasi fraktur hidung pada anak-anak. Ini menimbulkan tidak ada radiasi, menyediakan berbagai pencitraan pesawat tanpa perubahan posisi, dan dapat digunakan untuk mengevaluasi septum kartilaginosa. Potensi perangkap jahitan nasofrontal, persimpangan antara tulang hidung dan aperture pyriform dari rahang, alur pembuluh darah, dan adanya fraktur tua. CT dapat digunakan selain untuk sonografi dalam kasus-kasus trauma tulang wajah dicurigai kompleks.
17
Daftar Pustaka
„h http://ilmubedah.info/definisi-anatomi-diagnosis-penatalaksanaan-fraktur-nasal-makalah-20110203.html
„h http://medicastore.com
„h www.scribd.com
„h pustaka.unpad.ac.id
„h ilmukeperawatan.net/index.php/artikel/7-saraf/8-head-injury.htm
„h http://www.healthresources.caremark.com/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar